RSS

Ki Hadjar Dewantara: Pribadi Bangsa Indonesia Sejati




Apa yang akan selalu kita baca ketika kita memasuki SD, SMP, atau SMA? Kita peringati apa setiap tanggal 2 Mei? Siapa Bapak Pendidikan Nasional? Kenalkah dengan nama Perguruan Tamansiswa?

Ya, tentu saja. Kita mengetahui semuanya dan di balik semua itu terdapat sosok, sebuah pribadi yang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia sebenarnya, karakter bangsa Indonesia yang telah ada sejak zaman kerajaan dulu kala.

Pertama, kalimat agung yang kita temui pertama kali menginjakkan kaki di bangku SD adalah “TUT WURI HANDAYANI”, sebuah pedoman bagi mereka yang memiliki jiwa pendidik. Apa arti dari kalimat tersebut?

Selain kalimat ini terdapat 2 kalimat yang menempati urutan lebih tinggi, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodho dan Ing Madya Mangun Karso. Tahap awal seorang pendidik yang akan memberikan ilmu dan mendidik tingkah laku anak-anaknya adalah Ing Ngarso Sung Tulodho, “dari depan menjadi contoh anak didiknya”. Sepatutnya lah kita (sebagai guru bagi murid, orang tua bagi putra-putrinya, atau sebagai kakak bagi adiknya) selalu memberikan contoh baik, sebelum kita menggurui atau membetulkan orang lain yang menurut kita berkelakuan salah. Tidak akan pernah benar jika kita hanya menyuruh ini itu, mencela si anu si ani, membandingkan dengan di budi dengan si wati, tanpa kita sendiri menunjukkan sifat yang benar dan baik. Mulailah dari diri sendiri.

Tahapan selanjutnya jika kita sudah menjadi contoh panutan adalah Ing Madya Mangun Karso, artinya “dari tengah kita bersama membantu anak didik kita”. Ketika anak-anak kita sudah melihat apa yang seharusnya dia lakukan, apa yang baik apa yang buruk, maka kita akan membantu, berusaha bersama agar anak kita mampu menguasai suatu ilmu pengetahuan, dapat memilih jalan yang benar, berhasil membuat sebuah prestasi yang gemilang.

Nah, inilah kalimat agung ketiga Tut Wuri Handayani yang memiliki “arti dari belakang kita mendorong usaha mereka”. Kita sebagai pendidik hanya dapat menjadi busur, membantu mendorong melesatkan anak panah ke arah yang telah mereka sendiri tentukan (ke arah yang baik). Kita tidak bisa memaksa mengarahkan mereka ke arah barat atau timur, jika ternyata si anak lebih memilih arah selatan atau utara. Tugas kita lah sebagai busur panah untuk melesatkan, cepat secepat kilat menuju arah tujuan anak-anak kita yang telah diguratkan langit.

Siapa yang pertama kali mengagungkan ketiga kalimat di atas sebagai pedoman bagi para pendidik dan orang tua? Kenapa pula setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional?

Jawabannya adalah: Ki Hadjar Dewantara.

Raden Mas SOEWARDI SOERJANINGRAT, sejak tahun 1922 merubah namanya KI HADJAR DEWANTARA, menghapus keningratannya, dan mensejajarkan dirinya dengan manusia sesama bangsa. Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 MEI 1989– dan wafat di kota kelahirannya pula, pada tanggal 26 April 1959. Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan bapak bangsa sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda, beliau adalah seorang yang menunjukkan karakter bangsa Indonesia seutuhnya.

Ki Hadjar adalah pendiri Perguruan Tamansiswa, sebuah badan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi dari kelas mana pun untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti hanya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Karena jasa besarnya, beliau menjadi Bapak Pendidikan Indonesia.

Masa muda dan awal karier

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan, keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Als ik eens Nederlander was

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "een voor allen maar ook allen voor een" atau "SATU UNTUK SEMUA, TETAPI SEMUA UNTUK SATU JUGA". Namun kolom Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "ALS IK EENS NEDERLANDER WAS"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919, setelah sekian lama dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Segera kemudian beliau bergabung dalam sebuah sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau PERGURUAN NASIONAL TAMANSISWA. Saat ia genap berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Dialah, sebuah nama sebagai simbol pembebasan belenggu dari kaum feodal, setelah nama ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dibuang menjadi KI HADJAR DEWANTARA. Dialah sebuah pribadi bangsa Indonesia seutuhnya, dan sosok yang cinta akan tanah airnya, berani mati demi tumpah darahnya, ibu pertiwi yang selalu harum di matanya. Maka, sebagai warga negara Indonesia, sudahkah kita berbuat sesuatu untuk mengharumkan Nusantara yang semakin ‘tenggelam’ ini?


Diceritakan kembali oleh Yan Septiyana dari berbagai sumber

0 komentar:

Post a Comment