RSS
Showing posts with label Asahégo. Show all posts
Showing posts with label Asahégo. Show all posts

Kebahagiaan Ada dalam Perilaku dan Pikiran





Sebuah KEBAHAGIAAN yang SEDERHANA: PIKIRAN DAN PERILAKU yang bahagia.
Segalanya pasti berubah. WAKTU akan ‘menggilas’ semua harapan dan kenangan. Kegembiraan dan kesedihan datang kapan pun dia kehendaki. Suka atau tidak kita harus menerimanya.

Pikiran kitalah yang akan membuat hati tetap damai jika kesedihan melanda. Pikiran kita yang akan membuat hati tetap dalam kesederhanaan jika kegembiraan menyambut. Pikiran nu teu nanaon ku nanaon ini tentu saja terjadi bila kita mengizinkannya.
Pikiran sederhana dan merasa cukup dengan apa yang kita terima, merasa senang walau dihimpit keputusasaan. Kesedihan, kegembiraan, sempit, dan lapang senantiasa berubah sebagai kalender yang terus berganti setiap harinya. Kebahagiaan lah yang abadi, tidak akan lekang oleh waktu, panas, dan hujan.

Tinggal bagaimana kita mengelola PIKIRAN dan SIKAP kita agar kebahagiaan jiwa kita MENGUTUH menjadi KEBAHAGIAAN sejati. Bukan lah sebuah kebahagiaan memiliki tingkatan-tingkatan, tingkatan yang rendah atau tingkatan yang lebih tinggi. Kebahagiaan yang kita miliki terkadang belum utuh, masih ada sepotong hati yang tidak dibasuh kebahagiaan, sehingga kita akan merasakan kehampaan, keresahan, kecemasan, terhadap apa yang kita hadapi sekarang atau akan kita hadapi di masa datang.

Orang-orang yang SELALU BERSYUKUR akan menemukan kebahagiaan yang utuh. Mereka bersyukur setiap saat, oleh karena mereka bersyukur mereka “menjadi” bahagia. Mereka tidak bersyukur “karena” bahagia.

Seiring waktu bergulir tak pernah berulang, seperti itu pula perjalanan hidup manusia, tak akan kembali ke masa lalunya, ke masa mudanya. Semakin tua (arti yang lain semakin dekat dengan kematiannya) manusia semakin kaya akan pengalaman dan akan semakin bijak.

Keadaan hati seseorang: pahit, kecewa, cemas, marah, getir, ceria, lapang, tertawa, damai, dan gembira. Semua yang dilaluinya merupakan sebuah “harta”.
Sebagian kecil orang menggunakan hartanya hanya untuk kesenangan sesaat. Dia tidak sadar betapa berharga harta yang dimilikinya, sehingga harta itu habis dalam sekejap, tak akan pernah dapat dinikmatinya lagi. Habis ludes hanya untuk memenuhi hasratnya sebagai kepuasan jasmani.

Manusia bijak lahir dari perjalanan hidupnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa harta tersebut merupakan barang berharga, maka ia akan menggunakan hartanya sebaik mungkin. Ia gunakan harta itu untuk membangun rumah bahkan istana, membantu orang dalam kesusahan, membantu saudara, membangun taman indah dengan pohon hijau, rerumputan, bunga-bunga, dan sungai kolam di dalamnya yang akan membuat damai jiwa sepanjang waktu.

Begitulah, orang yang sadar harta –buah dari pengalaman hidup– yang berharga harus dia gunakan untuk kebaikan dan menolong sesama.

Jika hari ini kita lalui jalanan dalam kemacetan, kita menggerutu begitu lama. Lalu kenapa keesokan harinya kita tetap dengan gerutuan yang menumpulkan pikiran ketika macet kembali menghadang? Jika hari ini kita meributkan teman kita yang ingkar membayar hutangnya, lalu kenapa bulan depan kita masih memberikan dia pinjaman dan ribut lagi ketika dibayar tidak tepat waktu?

Kita tetap marah pada anak-anak kita hampir setiap hari karena selalu saja mereka lupa menyiapkan buku dan sepatu di malam harinya, sehingga pagi hari yang seharusnya ceria berubah menjadi omelan yang ditujukan kepada anak-anak kita sebagai sebuah hukuman?

Mari kita pikirkan sekali lagi. Bukankah kita telah mendapatkan bekal berupa pengalaman di masa lalu, di bulan kemarin, di hari sebelumnya? Tidakkah kita mengambil pelajaran (hikmah) dari kejadian sebelumnya?

Perlukah kita menggerutu, padahal gerutuan tidak akan memperlancar jalanan yang sudah macet. Perlukah kita meminjamkan uang jika tabiat orang itu sudah kita ketahui sebelumnya. Patutkah kita menghukum anak-anak kita, padahal dengan nasihat bijak dan senyuman semuanya dapat diatasi. Atau kita tak pernah bercermin, bahwa seharusnya kesalahan ada pada diri kita, tidak pernah mengingatkan anak-anak kita, bahkan mungkin tak pernah menjadi contoh yang baik bagi mereka.

Sebagai akhir tulisan, manusia yang dapat mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya akan menjadi manusia bijak.

Waktu terus berjalan, tak akan pernah menjadi lambat atau menjadi cepat. Hanya pikiran dan perbuatan bahagia yang membuat kita menjadi manusia yang berbahagia, manusia yang utuh.

Olimpiade yang Istimewa





Beberapa tahun lalu, diadakan olimpiade khusus orang-orang cacat di Seattle, Amerika Serikat. Saat itu diadakan pertandingan lari jarak pendek 100 meter. Terlihat di lintasan lari, sembilan pelari telah bersiap-siap di tempat start masing-masing.
Ketika pistol tanda pertandingan dinyalakan, mereka semua berlari, meski tidak tepat berada di garis lintasannya, namun semuanya berlari dengan wajah gembira menuju garis finish dan berusaha untuk memenangkan pertandingan ... kecuali, seorang pelari. Anak lelaki, yang tiba-tiba tersandung dan terjatuh berguling beberapa kali.


Ia lalu menangis.
Tahukah Kawan, apa yang terjadi?
Delapan pelari mendengar tangisan anak lelaki yang terjatuh itu. Mereka lalu memperlambat lari mereka dan menoleh ke belakang. Mereka semua berbalik dan berlarian menuju anak lelaki yang terjatuh di tanah itu.
Semuanya, tanpa terkecuali!
Seorang gadis yang menyandang cacat keterbelakangan mental menunduk, memberikan sebuah ciuman padanya dan berkata "Semoga ini membuatmu merasa lebih baik."
Kemudia kesembilan pelari itu saling bergandengan tangan, berjalan bersama menyelesaikan pertandingan menuju garis finish.
Seluruh penonton yang ada di dalam stadion itu berdiri, memberikan salut selama beberapa lama. Mereka yang berada di sana saat itu masih saja tak bosan-bosannya meneruskan kejadian ini.
Tahukah Kawan, kenapa mereka salut dengan begitu lama?
Karena di dalam diri kita yang terdalam kita tahu bahwa dalam hidup ini tak ada yang jauh lebih berharga daripada kemenangan bagi kita semua. Yang terpenting dalam hidup ini adalah saling tolong menolong meraih kemenangan, meski kita harus mengalah dan mengubah diri kita sendiri.
Dan di bawah ini adalah bait-bait yang menggetarkan jiwa, tentang kehidupan yang penuh warna dan pengorbanan. Bait dari Gong 2000, “Katakan Kita Rasakan”

sisakan senyum, sisihkan tawa
ketika tangis terdengar
cakar telinga kita

hangatnya surya, di darah ini
relakan untuk mereka
agar air mata pergi

satukan langkah dan rasa
bersama singkirkan derita
biarkan langkah berarti
di sekejap hidup ini

katakan cinta, rasakan duka
katakan pasti kita rasakan
segala penderitaan

satukan langkah dan rasa
bersama singkirkan derita
biarkan langkah berarti
di sekejap hidup ini

WELKOMEN to .BeeBee WORLD

Hola, ASAHEGO!
Sampurasun everybody.
We will walk together, and face on this day, new day.
Don't worry be happy. Cheer up every moment, and keep your beautiful soul, don't let rubbish and poison poluted it.
An dyou must eat helathy food: good music, read book (wonderful book, and you don't have read all book, just wonderful book)



Lelaki dan Rembulan dari Franky. Pagi ini saya mendengarkan tembangnya yang syahdu, dan kita akan membincangkan lagu ini di pagi yang hangat ini.

Rembulan di malam hari
lelaki diam seribu kata
hanya memandang hatinya luka
hatinya luka

Udara serasa berat
karna asmara sesakkan dada
ketika cinta membentur dinding
terbentur dinding

Bukalah pintu hatimu yang selalu membeku
agar kulihat lagi rembulan di wajahmu
Jangan sembunyikan hatimu padaku

Lelaki dan rembulan
Bersatu di malam angin sepoi-sepoi


:. Lihat Kawan seorang lelaki yang hanya tercenung di malam hari bersama rembulan (entah sabit atau purnama, atau gerhana). Sendirian dalam kegelapan malam.
Merasakan sesak dada, dan batin yang luka karena persoalan asmara, persoalan cinta (masalah klasik, begitu tua, mungkin sejak dari Nabi Adam hingga zaman Adam Jordan sekarang).

Wajah cerianya dahulu kala, sirna, dan sahabatnya mencoba untuk mengajak si lelaki kembali membuka hatinya, melupakan dukanya, agar ’rembulan’ hadir di wajahnya bukan hanya untuk diterawang di kejauhan langit malam.

Maka, semuanya akan berubah jika kita sadar akan itu. Tidak ada setetes dzarah pun yang abadi, pasti akan berubah. Begitu pun hidup kita pasti berubah.

Baik itu berubah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk (tergantung sudut pandang kita). Maka, satu hal yang pasti: SEMUANYA AKAN BERUBAH!

Jika kita tahu semuanya akan berubah, tentu saja asmara yang kita rasakan suatu saat akan bertamabah besar atau ... lenyap!

Banyak orang yang begitu giat bekerja di siang hari. Saking getolnya, suara adzan yang seharusnya kita sambut dengan gembira, bergegas mengambil air wudhu dan berjamaah di awal waktu, diabaikan begitu saja, dengan alasan tanggung pekerjaan masih ada. Mereka seakan hendak menjadikan dirinya sebagai pahlawan, sealan dengan kerja keras seperti itu penghargaan terhadapnya akan naik di mata orang-orang.
Lelah seharian kerja di siang hari, melupakan Zat yang menciptakannya, di malam harinya digunakan untuk bersantai atau tidur, terlelap, kembali tak ingat akan Zat Maha Menghidupkan. Hal inilah yang dimaksud oleh Syaikh ’Abdul Qâdir Jailânî:
”Janganlah kalian menjadi pahlawan di siang hari, dan menjadi mayat di malam hari”
Dengan terus meningay siapa pencipta kita, dan akan kemana kita pergi setelah berada di alam dunia ini, kita mulai mencapatkan kesadaran akan hakikat hidup, kesadaran akan sebuah kehidupan yang fana, tak abadi.

Kita akan sadar akan hal itu, suatu saat akan terjadi, kita harapkan atau tidak. WAKTU akan menelan semua kenangan dan harapan kita. Lihat dua hari ke depan, bayangkan jika lusa itu ada di hadapan kita. Maka, lusa itu akan melewati kita (seiring waktu berjalan), menembus badan kita terus bergerak ke belakang. Lusa, dua hari ke depan, akan menjadi kemarin!

Sikapilah dengan BIJAK. Sikapilah sewajarnya, karena bukan kita yang berkuasa menentukan sesuatu terjadi seperti apa yang kita hendaki, namun semuanya berjalan sesuai dengan kehendak yang menciptakan, Allah Ta'ala. Semuanya terjadi karena 'bi idznih', dan semuanya tak akan terjadi 'illaa bi idznih'

Suatu saat akan terjadi sesuatu yang membuat hati kita menderita, seperti kisah Lelaki dan Rembulan dari Franky tadi. Dan kita sering menyebutnya sebuah musbiah. Padahal hakikatnya siapa tahu sebuah anugerah, karena yang buruk di hadapan kita belum tentu buruk di mata Allah SWT. Sepatutnya apa yang kita terima, jangan terlalu sering menyebutnya sebuah musibah, seakan Allah Maha Pengasih Penyayang hanya mengirimkan penderitaan kepada hamba-hamba-Nya. Sikapilah dengan cara yang terbaik, yaitu:

”SADARILAH SEMUA AKAN BERUBAH, DAN SIKAPILAH DENGAN BIJAK: TAWAKAL.”


Paribasa Inggeris Vérsi Sunda




Just Be Yourself ("Seureudkeun diri sorangan kana nyiruan") Jadi diri sorangan, mun ngarasa goreng patut kudu syukur, lantaran mun hade rupa bisi loba dosa hehehe ....

The Right Man In The Wrong Place ("Jelema nu lebah katuhu, salah tempat.. kuduna cicing dikenca") kasep/geulis jeung goreng patut eta gumantung kana lingkungan, misalna aranjeun didieu panggorengna, tapi bisa jadi di aprika mah pangkasepna/ panggeulisna, matakna geura pindah ka ditu.

Dont Judge The Book By The Cover
("Montong ngahukum buku make koper" ) Ulah pegat harepan, teu kabeh jalma nempo tina pisikna, saha nu nyaho tina imahna, mobilna, pagaweanana, atau tabunganana

Like Father Like Son( "Suka ka bapana, suka oge ka anakna" ) Tong nyalahkaeun sorangan mun goreng patut, salahkeun kolot wae sabab goreng patutmah da turunan.... bener pan?

The Beauty Is Under The Skin ( "Jadi geulis mun geus ganti kulit" ) Omean inner beauty aranjeun, eta mun ngarasa sisi luar geus ancur teu katulungan deui....

No Gain Without Pain ("moal meunang duit mun teu nyeri heula...jiga kuda lumping" ) tong nyeri hate mun dipoyokan goreng patut, cuek wae lah, inget film Beauty and The Beast pan?)

The Truth Is Out There
("Nu ngajawab bener, meunang kaluar") Inget basa keur SD euy... ehhehehe.... .

Love Is Blind ("Micinta nu lolong") Cinta mah teu nempo kasep atawa goreng, teu percaya? tanyakeun wae ka jalma goreng patut. Memang kasep/geulis mah relatip...tapi mun goreng patut mah MUTLAK
punten bilih aya anu kasinggung,ieu mah mung heureuy we.... nuhun nu tos maos paribasa nu ngacapruk ieu.... hidup goreng patut...!!!

Sekilas Sejarah Sunda




Berdasarkan data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala di Ciampe'a (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian, pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat manusia betapapun sederhananya.

Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat pada zaman Kerajaan Tarumanagara dengan salah seorang rajanya bernama Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah Bekasi sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, sistem kerajaan sebagai merupakan pemerintahan, Agama Hindu sebagai agama resmi negara, sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial, dan hubungan antar negara telah mulai terwujud, walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas.

Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan negeri luar yang menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanagara, tetapi kebudayaan Hindu dari India yang dominan dan berpengaruh di sini. Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanagara. Pusat kerajaannya berada di sekitar Bogor sekarang.

Paling tidak, ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan. Pertama, dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi); kedua, beberapa buah berita orang Portugis (1513,1522,1527); dan ketiga, beberapa buah naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kanda'ng Karesian). Ibu kota Kerajaan Sunda dinamai Pakuan Pajajaran.

Dalam tradisi lisan dan naskah sesudah abad ke-17, Pakuan biasa disebut untuk nama ibukota, sedangkan Pajajaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuhnya sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja). Ibukotanya pernah berada di Kawali, Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan Majapahit, karena masalah pernikahan puteri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) dan puteranya, Prabu Surawisesa, (1521-1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka.

Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang banyak sehingga bisa diekspor. Kota pelabuhan yang besar antara lain Banten, Kalapa (Jakarta sekarang), dan Cirebon. Sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya. Ada jalan raya darat yang menghubungkan ibukota kerajaan dengan Banten di sebelah barat, Kalapa disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh di sebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara dihubungkan dengan jalur lalulintas sungai dan jalan menyusuri pantai.

Para pedagang Islam sudah berdatangan ke kota-kota pelabuhan Kerajaan Sunda untuk berdagang dan memperkenalkan agama Islam. Lama kelamaan para pedagang Islam bermukim di kota-kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten, Karawang, dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang mengnanut Agama Islam. Bberkat dukungan Kesultanan Demak, berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan selanjutnya mendesak kekuasaan Kerajaan Sunda sampai akhirnya menumbangkannya sama sekali (1579). Sementara di daerah pesisir berkembang kekuasaan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan di daerah pedalaman muncul kabupaten-kabupaten yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu: Sumedang, Galuh, Sukapura, Limbangan, Parakanmuncang, Bandung, Batulayang, dan Cianjur.

Periode selanjutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak baru, karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara perlahan-lahan tetapi pasti akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19), karena itu mulailah zaman kekuasaan kolonial Hindia Belanda.

Pada masa ini masyarakat dan Tanah Sunda dieksploitasi oleh kaum kolonial, mula-mula dengan menggunakan cara penyerahan wajib hasil bumi tanaman ekspor (lada, nila, kopi) dan kerja paksa (rodi) yang dikenal dengan sebutan Sistem Priangan (Preanger Stelsel); kemudian sejak tahun 1871 melalui cara penanaman modal swasta dengan membuka macam-macam perkebunan (teh,karet,kina), perdagangan, industri, pelayaran, pertambangan, dan lain-lain yang tenaga kerjanya (tenaga kerja murah ) diambil dari masyarakat pribumi; model eksploitasi ini dikenal dengan sebutan Sistem Imprealisme.

Tanah Sunda yang subur dan orang-orangnya yang rajin bekerja menjadikan pengeksploitasian tersebut sangat menguntungkan penguasa kolonial sehingga membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di sini dan yang berada di tanah leluhur mereka (Belanda). Sebaliknya rakyat pribumi tidak mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya menderita; kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan bekerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum Menak.

Pada sisi lain masuknya penjajahan itu menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan penentangan sebagian masyarakat. Dibawah beberapa orang pemimpinnya timbullah serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti, yang dipimpin oleh Dipati Ukur di Priangan (1628-1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya di Banten (1659-1683), Prawatasari di Priangan (1705-1708), Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750-1752), Bagus Rangin (1802-1818) Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kiai Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di Garut (1918).

Ketidakpuasan masyarakat terus berlanjut, walaupun penguasa kolonial mengupayakan perbaikan kehidupan masyarakat melalui program pendidikan, pertanian, perkreditan, dan juga menerapkan sistem otonomi bagi pemerintahan pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul gerakan penentang sosial dan organisasi politik seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban Pasundan dan Partai Nasional Indonesia.

Melalui pendudukan Militer Jepang (1942-1945) yang menumbangkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda (menyerah di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942) dan menumbuhkan keberanian di kalangan orang pribumi untuk melawan kekuasaan asing dan memberi bekal ketrampilan berperang; pada tahun 1945 masyarakat Sunda, umumnya masyarakat Indonesia, berhasil mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu masyarakat dan tanah Sunda berada dalam lingkungan negara Republik Indonesia.

Seiring bergulirnya perobahan sistem pemerintahan yang tadinya unitaristik-sentralistik menjadi otonomi-desentralistik, maka kini saatnyalah bagi Masyarakat Sunda untuk membuktikan kesungguhan perjuangannya dalam mewujudkan Tatar Sunda anu Tata-Tengtrem Karta Harja sebagai kontribusi Ki Sunda kepada negara Republik Indonesia.

Kenyataan lain, yaitu pemekaran Propinsi Jawa Barat dengan terbentuknya Propinsi Banten. Walau demikian tetap saja kedua propinsi itu masih dalam ikatan Tatar Sunda. Untuk terjalinnya ikatan batin yang kuat perlu ditumbuhkan antara lain melalui kesadaran atas adanya kesamaan Religi (dalam hal mayoritas Urang Sunda beragama Islam). Selain itu harus adanya kesadaran akan nilai-nilai pandangan hidup yang Nyunda, kesadaran akan alur sejarah Sunda yang tidak terputus serta kesadaran untuk memelihara Bahasa Sunda dan bahasa dialek setempat agar tetap digunakan di setiap keluarga Sunda.

Sumber: Ensiklopedi Sunda - Pustaka Jaya dan sumber lainnya *

Siapkah Kita Menerima Kebahagiaan?




Most people are about as happy as they make up their minds to be.
-- Abraham Lincoln

Sebuah kata: kebahagiaan. Adalah mimpi, adalah tujuan dari hampir semua manusia yang ada di muka bumi ini. Sangat sering kita mendengar kata “kebahagiaan”. Bagi umat Muslim, sehari lima kali paling sedikit, dikumandangkan adzan, dimana salah satu bagiannya adalah “hayya alal falah”, marilah kita mencapai kebahagiaan, setelah ajakan untuk menegakkan shalat. Tentu saja, semua umat beragama menempatkan kebahagiaan sebagai tujuan utama dari kehidupan ini, kebahagiaan lahir dan batin, kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Pernahkah Anda berpikir bahwa Anda dapat memutuskan untuk berbahagia hari ini? Atau Anda memutuskan untuk tidak akan berbahagia?

Ya, tentu saja. Setiap hari kita akan bergelut dengan pikiran kita tentang hari ini, hari yang akan kita hadapi. Wah, hari ini saya akan bekerja dengan semangat atau ah, sudahlah hari ini sama saja tidak ada yang berbeda, saya akan duduk di kursi mengerjakan apa yang akan saya kerjakan, setelah itu pulang.

Mendapatkan kebahagiaan tidaklah sulit. Tidak perlu sekolah meraih bahagia, tidak perlu ijazah kebahagiaan, atau pengakuan dari orang lain “Selamat, Anda telah bahagia!” Tidak pula jika kita ingin bahagia maka kita harus menjadi orang penuh senyum, tersenyum sepanjang hari. Seperti yang dituturkan Sharon Jones, bahwa kita dapat berbahagia ketika kita menjadi diri kita sendiri, melakukan apa yang kita inginkan, dan berada dimana pun.

Ada kalanya perasaan bahagia akan berkurang, ketika mengalami rasa frustasi, stres, bingung, kecewa, atau sakit hati. Kita tidak dapat mengatakan dalam pikiran bahwa kita masih bahagia, padahal hati kita terus mengeluh dan mengumpat. Tidak perlu khawatir, ingat bahwa kehidupan ini terus berputar bak roda, terkadang di atas, pada saat lain akan berada di bawah. Sadarilah hal itu. Dengan kesadaran itu, kita akan lebih menerima apa yang kita terima saat itu, dan dengan mudah mengambil apa yang kita terima dan melepaskan apa yang hilang dalam hidup ini.
Siapkah kita menerima kebahagiaan dan menjadi orang yang bahagia?

Satu hal yang perlu diingat bahwa kebahagiaan berbeda dengan kegembiraan. Kegembiraan merupakan perasaan senang, damai, untuk sementara. Sedangkan kebahagiaan akan dimiliki sepanjang waktu, kekal, dan tidak terukur oleh harta, kekayaan, mobil, jabatan, atau materi lainnya.

Siapkah kita menjadi orang yang berbahagia?

Cobalah untuk mengatakan setiap hari ketika mentari terbit di ufuk timur: saya akan menjadi orang yang berbahagia. I believe that the very purpose of life is to be happy, tetapkanlah tujuan hidup Anda adalah meraih kebahagiaan, bukan untuk sebuah rumah, mobil, jabatan, atau lainnya.

- Nikmatilah kehidupan yang Anda jalankan sekarang
- Jangan pernah berburuk sangka kepada siapa pun
- Memberi lebih banyak daripada apa yang kita terima
- Kenali keunggulan atau keistimewaan dan kelemahan yang Anda miliki
- Lakukan pekerjaan Anda sebaik-baiknya dan berbuat baik

Selamat berbahagia!

Antara Memaafkan dan Kebahagiaan

KERAMAHAN Akmal Nasery Basral mengantarkan saya pada Arvan Pradiansyah beserta kedua bukunya. Pertama Life Is Beautiful (2004; revisi 2006), buku yang jadi jendela untuk mengubah cara pandang terhadap dunia dengan lebih positif, jernih, dan optimistik. Kedua Cherish Every Moment (2007), sejenis sekuel Life Is Beautiful namun lebih mengajak pembaca agar mampu 'menikmati hidup yang indah setiap saat.' Sebenarnya buku Arvan sudah tiga, debutnya ialah You Are A Leader! (2002). Waktu kami bersua di Plaza Indonesia, dia bilang sekarang sedang terus menyelesaikan naskah baru. 'Itu buku tentang kebahagiaan, sudah sekitar 70 persen,' kata dia. Buku-buku dia ternyata laris, terutama sekali Life Is Beautiful, yang sudah cetakan tujuh. Ini menunjukkan tulisan Arvan digemari dan isinya kena pada banyak orang.

Arvan suka memparafrase kata-kata inspirasional dan dia sering menyampaikan maksud menggunakan cerita-cerita singkat yang menggugah dan memotivasi. Dia pandai mengubah-ubah cerita yang kerap beredar di antara Netter, jadi perhatian kaum urban dan punya bobot humanisme tinggi sesuai tujuan subjek, juga pintar memilih cerita yang punya daya ubah paradigma besar. Arvan seorang pembicara publik dan guru motivasi; selain melayani klien berbagai perusahaan, dia mengisi talkshow "Life Excellence" di Jaringan Radio Trijaya FM. Spesialisasinya bidang sumber daya manusia; jadi ia memang harus terus menggali cara agar manusia 'tergerak.' Wajar bila bukunya masuk jenis 'self development' dan 'motivasi.'

Life Is Beautiful dipenuhi cerita yang mampu mengubah paradigma, dengan tendensi agar pandangan jadi lebih jernih dan bertindak positif; sedangkan Cherish Every Moment berusaha menggali lebih dalam berbagai subjek yang awalnya diperkenalkan di buku ke-2. Salah satunya ialah tentang puasa dan memaafkan, dua hal yang secara luas diakui merupakan dwitunggal karena berlangsung secara simultan. Arvan menulis kedua hal itu lebih dari sekadar terkait ritual agama Islam, melainkan puasa dan memaafkan memiliki aspek yang lebih luas lagi, baik kemanusiaan universal maupun moralitas. Puasa merupakan fenomena umum manusia, semua bangsa dan budaya punya aspek itu. Samuel Mulia, penulis mode dan gaya hidup, juga mengakui hal itu. Persis di awal Ramadhan 1428 H ini dia menulis: `Meski saya bukan seorang Muslim, saya sedang menjalani puasa, sebuah ibadah yang saya jalani karena saya mengenal-Nya dan mencintai-Nya. '

MENURUT Arvan, salah satu nilai paling berharga dari puasa ialah mengajari orang mensyukuri nikmat Tuhan sekecil apa pun, misal ketika seseorang bisa begitu nikmat meski hanya berbuka dengan segelas air putih. Sedangkan memaafkan artinya melepaskan tawanan dan meyadari bahwa tawanan itu ialah... diri kita sendiri. Paradigma ini lain dengan anggapan umum bahwa memaafkan lebih mengenai orang lain, yaitu mereka yang 'minta maaf' maupun 'memberi maaf.' Simpul Arvan, 'Memaafkan jadi sulit karena kita percaya pada mitos bahwa memaafkan orang adalah untuk kepentingan orang tersebut, bukan untuk kepentingan kita.' Mitos itu menyebabkan minta maaf jadi basa-basi, persis saat pemain bola minta maaf setelah melakukan pelanggaran keras terhadap lawan. Dia melakukan itu agar tak dihukum dan timnya selamat dari kekalahan. Soal memaafkan ini, yang menarik, sesuai pendapat Quraish Shihab, Islam lebih mengedepankan 'memaafkan' daripada 'minta maaf.' Memaafkan itu muncul dari kesadaran diri, dari dalam, sedangkan minta maaf lebih karena terpaksa. Jadi sebelum orang lain minta maaf, seseorang idealnya harus lebih memaafkan. Ini sesuai dengan keyakinan Gandhi, yakni hanya orang besar yang punya sifat memaafkan. Kebanyakan orang sebaliknya: mereka menolak memaafkan orang yang pernah menyakiti dirinya, padahal efek psikisnya berbahaya, sebab berarti memelihara luka sepanjang hidup.

Selama Ramadhan dan Lebaran 'maaf-memaafkan' ini menemukan momentum paling kuat. Arvan tahu itu dan ia memotivasi orang agar benar-benar tahu hakikat memaafkan. Jangan sampai orang terbelenggu (terpenjara) oleh sesuatu yang ia benci. Mengutip Gerald Jampolsky, Arvan menegaskan bahwa memaafkan merupakan jalan terpendek menuju Tuhan. Bagi pendukung moralis-spiritualis , Tuhan merupakan muara bagi seluruh aktivitas yang dia semai di dunia.

Terbaca dari buku-bukunya, jelas Arvan mendukung setiap kebaikan yang muncul dari mana saja. Kunci dari dukungan itu ialah gemar pada 'makanan' yang menyehatkan pikiran dan menyimak baik-baik. Dua
hal itu saja bisa mengantarkan orang jadi lebih bahagia. Arvan bukan saja sigap menyuling ajaran dari guru-guru motivasi mutakhir, dia juga menyerap ajaran dari banyak sumber, baik moralis Leo Tolstoy, Zen, saripati ajaran agama-agama, termasuk eksponen spiritualis modern seperti Robert M. Pirsig dan M. Scott Peck. Motif dia agaknya sederhana sekaligus ambisius, ialah menemukan kebahagiaan.

Lepas dari berbagai keberhasilan dan manfaat faktual yang dirasakan banyak orang yang mempraktikkan, buku jenis motivasi (self-improvement, self-development) kerap dilecehkan menawarkan sesuatu yang permukaan bagi persoalan mendasar yang sulit. Tapi jelas buku sejenis ini bisa diterima semua kelas pembaca dan pangsa pasarnya luas, sementara para penulisnya selalu berusaha menyampaikan gagasan dengan keterbacaan tingkat tinggi. Akibatnya ganda, sering para penulisnya sekaligus terkenal sebagai pembicara publik yang mampu menggerakkan semangat orang.

AKHIRAN: Kurt Cobain, vokalis band Nirvana yang mati konyol karena bunuh diri, dulu waktu masih waras dan bisa damai dengan hidup melantun dalam lagunya, `All Apologize': Apalagi yang bisa aku katakan, semua sudah dimaafkan.// Apalagi yang perlu aku bilang, semua orang sudah riang.' Tapi benar-benar memaafkan itu sungguh sulit; dan memang hanya orang besar yang mampu melakukannya dengan sempurna. Saya sendiri sering kepayahan memaafkan segala hal; bukan semata-mata memaafkan dan kemudian berdamai dengan dunia, tapi juga berdamai dengan diri sendiri, menenteramkan gejolak yang masih liar karena terpaksa harus memaafkan. Bila sudah begitu, saya sering malu karena jadi tahu persis betapa memaafkan yang berbuah kebahagiaan itu sangat jarang. [] :

Anwar Holid

Antara Memaafkan dan Kebahagiaan




KERAMAHAN Akmal Nasery Basral mengantarkan saya pada Arvan Pradiansyah beserta kedua bukunya. Pertama Life Is Beautiful (2004; revisi 2006), buku yang jadi jendela untuk mengubah cara pandang terhadap dunia dengan lebih positif, jernih, dan optimistik. Kedua Cherish Every Moment (2007), sejenis sekuel Life Is Beautiful namun lebih mengajak pembaca agar mampu 'menikmati hidup yang indah setiap saat.' Sebenarnya buku Arvan sudah tiga, debutnya ialah You Are A Leader! (2002). Waktu kami bersua di Plaza Indonesia, dia bilang sekarang sedang terus menyelesaikan naskah baru. 'Itu buku tentang kebahagiaan, sudah sekitar 70 persen,' kata dia. Buku-buku dia ternyata laris, terutama sekali Life Is Beautiful, yang sudah cetakan tujuh. Ini menunjukkan tulisan Arvan digemari dan isinya kena pada banyak orang.

Arvan suka memparafrase kata-kata inspirasional dan dia sering menyampaikan maksud menggunakan cerita-cerita singkat yang menggugah dan memotivasi. Dia pandai mengubah-ubah cerita yang kerap beredar di antara Netter, jadi perhatian kaum urban dan punya bobot humanisme tinggi sesuai tujuan subjek, juga pintar memilih cerita yang punya daya ubah paradigma besar. Arvan seorang pembicara publik dan guru motivasi; selain melayani klien berbagai perusahaan, dia mengisi talkshow "Life Excellence" di Jaringan Radio Trijaya FM. Spesialisasinya bidang sumber daya manusia; jadi ia memang harus terus menggali cara agar manusia 'tergerak.' Wajar bila bukunya masuk jenis 'self development' dan 'motivasi.'

Life Is Beautiful dipenuhi cerita yang mampu mengubah paradigma, dengan tendensi agar pandangan jadi lebih jernih dan bertindak positif; sedangkan Cherish Every Moment berusaha menggali lebih dalam berbagai subjek yang awalnya diperkenalkan di buku ke-2. Salah satunya ialah tentang puasa dan memaafkan, dua hal yang secara luas diakui merupakan dwitunggal karena berlangsung secara simultan. Arvan menulis kedua hal itu lebih dari sekadar terkait ritual agama Islam, melainkan puasa dan memaafkan memiliki aspek yang lebih luas lagi, baik kemanusiaan universal maupun moralitas. Puasa merupakan fenomena umum manusia, semua bangsa dan budaya punya aspek itu. Samuel Mulia, penulis mode dan gaya hidup, juga mengakui hal itu. Persis di awal Ramadhan 1428 H ini dia menulis: `Meski saya bukan seorang Muslim, saya sedang menjalani puasa, sebuah ibadah yang saya jalani karena saya mengenal-Nya dan mencintai-Nya. '

MENURUT Arvan, salah satu nilai paling berharga dari puasa ialah mengajari orang mensyukuri nikmat Tuhan sekecil apa pun, misal ketika seseorang bisa begitu nikmat meski hanya berbuka dengan segelas air putih. Sedangkan memaafkan artinya melepaskan tawanan dan meyadari bahwa tawanan itu ialah... diri kita sendiri. Paradigma ini lain dengan anggapan umum bahwa memaafkan lebih mengenai orang lain, yaitu mereka yang 'minta maaf' maupun 'memberi maaf.' Simpul Arvan, 'Memaafkan jadi sulit karena kita percaya pada mitos bahwa memaafkan orang adalah untuk kepentingan orang tersebut, bukan untuk kepentingan kita.' Mitos itu menyebabkan minta maaf jadi basa-basi, persis saat pemain bola minta maaf setelah melakukan pelanggaran keras terhadap lawan. Dia melakukan itu agar tak dihukum dan timnya selamat dari kekalahan. Soal memaafkan ini, yang menarik, sesuai pendapat Quraish Shihab, Islam lebih mengedepankan 'memaafkan' daripada 'minta maaf.' Memaafkan itu muncul dari kesadaran diri, dari dalam, sedangkan minta maaf lebih karena terpaksa. Jadi sebelum orang lain minta maaf, seseorang idealnya harus lebih memaafkan. Ini sesuai dengan keyakinan Gandhi, yakni hanya orang besar yang punya sifat memaafkan. Kebanyakan orang sebaliknya: mereka menolak memaafkan orang yang pernah menyakiti dirinya, padahal efek psikisnya berbahaya, sebab berarti memelihara luka sepanjang hidup.

Selama Ramadhan dan Lebaran 'maaf-memaafkan' ini menemukan momentum paling kuat. Arvan tahu itu dan ia memotivasi orang agar benar-benar tahu hakikat memaafkan. Jangan sampai orang terbelenggu (terpenjara) oleh sesuatu yang ia benci. Mengutip Gerald Jampolsky, Arvan menegaskan bahwa memaafkan merupakan jalan terpendek menuju Tuhan. Bagi pendukung moralis-spiritualis , Tuhan merupakan muara bagi seluruh aktivitas yang dia semai di dunia.

Terbaca dari buku-bukunya, jelas Arvan mendukung setiap kebaikan yang muncul dari mana saja. Kunci dari dukungan itu ialah gemar pada 'makanan' yang menyehatkan pikiran dan menyimak baik-baik. Dua
hal itu saja bisa mengantarkan orang jadi lebih bahagia. Arvan bukan saja sigap menyuling ajaran dari guru-guru motivasi mutakhir, dia juga menyerap ajaran dari banyak sumber, baik moralis Leo Tolstoy, Zen, saripati ajaran agama-agama, termasuk eksponen spiritualis modern seperti Robert M. Pirsig dan M. Scott Peck. Motif dia agaknya sederhana sekaligus ambisius, ialah menemukan kebahagiaan.

Lepas dari berbagai keberhasilan dan manfaat faktual yang dirasakan banyak orang yang mempraktikkan, buku jenis motivasi (self-improvement, self-development) kerap dilecehkan menawarkan sesuatu yang permukaan bagi persoalan mendasar yang sulit. Tapi jelas buku sejenis ini bisa diterima semua kelas pembaca dan pangsa pasarnya luas, sementara para penulisnya selalu berusaha menyampaikan gagasan dengan keterbacaan tingkat tinggi. Akibatnya ganda, sering para penulisnya sekaligus terkenal sebagai pembicara publik yang mampu menggerakkan semangat orang.

AKHIRAN: Kurt Cobain, vokalis band Nirvana yang mati konyol karena bunuh diri, dulu waktu masih waras dan bisa damai dengan hidup melantun dalam lagunya, `All Apologize': Apalagi yang bisa aku katakan, semua sudah dimaafkan.// Apalagi yang perlu aku bilang, semua orang sudah riang.' Tapi benar-benar memaafkan itu sungguh sulit; dan memang hanya orang besar yang mampu melakukannya dengan sempurna. Saya sendiri sering kepayahan memaafkan segala hal; bukan semata-mata memaafkan dan kemudian berdamai dengan dunia, tapi juga berdamai dengan diri sendiri, menenteramkan gejolak yang masih liar karena terpaksa harus memaafkan. Bila sudah begitu, saya sering malu karena jadi tahu persis betapa memaafkan yang berbuah kebahagiaan itu sangat jarang. [] :

Anwar Holid

Ki Hadjar Dewantara: Pribadi Bangsa Indonesia Sejati




Apa yang akan selalu kita baca ketika kita memasuki SD, SMP, atau SMA? Kita peringati apa setiap tanggal 2 Mei? Siapa Bapak Pendidikan Nasional? Kenalkah dengan nama Perguruan Tamansiswa?

Ya, tentu saja. Kita mengetahui semuanya dan di balik semua itu terdapat sosok, sebuah pribadi yang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia sebenarnya, karakter bangsa Indonesia yang telah ada sejak zaman kerajaan dulu kala.

Pertama, kalimat agung yang kita temui pertama kali menginjakkan kaki di bangku SD adalah “TUT WURI HANDAYANI”, sebuah pedoman bagi mereka yang memiliki jiwa pendidik. Apa arti dari kalimat tersebut?

Selain kalimat ini terdapat 2 kalimat yang menempati urutan lebih tinggi, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodho dan Ing Madya Mangun Karso. Tahap awal seorang pendidik yang akan memberikan ilmu dan mendidik tingkah laku anak-anaknya adalah Ing Ngarso Sung Tulodho, “dari depan menjadi contoh anak didiknya”. Sepatutnya lah kita (sebagai guru bagi murid, orang tua bagi putra-putrinya, atau sebagai kakak bagi adiknya) selalu memberikan contoh baik, sebelum kita menggurui atau membetulkan orang lain yang menurut kita berkelakuan salah. Tidak akan pernah benar jika kita hanya menyuruh ini itu, mencela si anu si ani, membandingkan dengan di budi dengan si wati, tanpa kita sendiri menunjukkan sifat yang benar dan baik. Mulailah dari diri sendiri.

Tahapan selanjutnya jika kita sudah menjadi contoh panutan adalah Ing Madya Mangun Karso, artinya “dari tengah kita bersama membantu anak didik kita”. Ketika anak-anak kita sudah melihat apa yang seharusnya dia lakukan, apa yang baik apa yang buruk, maka kita akan membantu, berusaha bersama agar anak kita mampu menguasai suatu ilmu pengetahuan, dapat memilih jalan yang benar, berhasil membuat sebuah prestasi yang gemilang.

Nah, inilah kalimat agung ketiga Tut Wuri Handayani yang memiliki “arti dari belakang kita mendorong usaha mereka”. Kita sebagai pendidik hanya dapat menjadi busur, membantu mendorong melesatkan anak panah ke arah yang telah mereka sendiri tentukan (ke arah yang baik). Kita tidak bisa memaksa mengarahkan mereka ke arah barat atau timur, jika ternyata si anak lebih memilih arah selatan atau utara. Tugas kita lah sebagai busur panah untuk melesatkan, cepat secepat kilat menuju arah tujuan anak-anak kita yang telah diguratkan langit.

Siapa yang pertama kali mengagungkan ketiga kalimat di atas sebagai pedoman bagi para pendidik dan orang tua? Kenapa pula setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional?

Jawabannya adalah: Ki Hadjar Dewantara.

Raden Mas SOEWARDI SOERJANINGRAT, sejak tahun 1922 merubah namanya KI HADJAR DEWANTARA, menghapus keningratannya, dan mensejajarkan dirinya dengan manusia sesama bangsa. Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 MEI 1989– dan wafat di kota kelahirannya pula, pada tanggal 26 April 1959. Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan bapak bangsa sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda, beliau adalah seorang yang menunjukkan karakter bangsa Indonesia seutuhnya.

Ki Hadjar adalah pendiri Perguruan Tamansiswa, sebuah badan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi dari kelas mana pun untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti hanya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Karena jasa besarnya, beliau menjadi Bapak Pendidikan Indonesia.

Masa muda dan awal karier

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan, keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Als ik eens Nederlander was

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "een voor allen maar ook allen voor een" atau "SATU UNTUK SEMUA, TETAPI SEMUA UNTUK SATU JUGA". Namun kolom Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "ALS IK EENS NEDERLANDER WAS"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919, setelah sekian lama dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Segera kemudian beliau bergabung dalam sebuah sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau PERGURUAN NASIONAL TAMANSISWA. Saat ia genap berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Dialah, sebuah nama sebagai simbol pembebasan belenggu dari kaum feodal, setelah nama ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dibuang menjadi KI HADJAR DEWANTARA. Dialah sebuah pribadi bangsa Indonesia seutuhnya, dan sosok yang cinta akan tanah airnya, berani mati demi tumpah darahnya, ibu pertiwi yang selalu harum di matanya. Maka, sebagai warga negara Indonesia, sudahkah kita berbuat sesuatu untuk mengharumkan Nusantara yang semakin ‘tenggelam’ ini?


Diceritakan kembali oleh Yan Septiyana dari berbagai sumber