RSS

Kebahagiaan Ada dalam Perilaku dan Pikiran





Sebuah KEBAHAGIAAN yang SEDERHANA: PIKIRAN DAN PERILAKU yang bahagia.
Segalanya pasti berubah. WAKTU akan ‘menggilas’ semua harapan dan kenangan. Kegembiraan dan kesedihan datang kapan pun dia kehendaki. Suka atau tidak kita harus menerimanya.

Pikiran kitalah yang akan membuat hati tetap damai jika kesedihan melanda. Pikiran kita yang akan membuat hati tetap dalam kesederhanaan jika kegembiraan menyambut. Pikiran nu teu nanaon ku nanaon ini tentu saja terjadi bila kita mengizinkannya.
Pikiran sederhana dan merasa cukup dengan apa yang kita terima, merasa senang walau dihimpit keputusasaan. Kesedihan, kegembiraan, sempit, dan lapang senantiasa berubah sebagai kalender yang terus berganti setiap harinya. Kebahagiaan lah yang abadi, tidak akan lekang oleh waktu, panas, dan hujan.

Tinggal bagaimana kita mengelola PIKIRAN dan SIKAP kita agar kebahagiaan jiwa kita MENGUTUH menjadi KEBAHAGIAAN sejati. Bukan lah sebuah kebahagiaan memiliki tingkatan-tingkatan, tingkatan yang rendah atau tingkatan yang lebih tinggi. Kebahagiaan yang kita miliki terkadang belum utuh, masih ada sepotong hati yang tidak dibasuh kebahagiaan, sehingga kita akan merasakan kehampaan, keresahan, kecemasan, terhadap apa yang kita hadapi sekarang atau akan kita hadapi di masa datang.

Orang-orang yang SELALU BERSYUKUR akan menemukan kebahagiaan yang utuh. Mereka bersyukur setiap saat, oleh karena mereka bersyukur mereka “menjadi” bahagia. Mereka tidak bersyukur “karena” bahagia.

Seiring waktu bergulir tak pernah berulang, seperti itu pula perjalanan hidup manusia, tak akan kembali ke masa lalunya, ke masa mudanya. Semakin tua (arti yang lain semakin dekat dengan kematiannya) manusia semakin kaya akan pengalaman dan akan semakin bijak.

Keadaan hati seseorang: pahit, kecewa, cemas, marah, getir, ceria, lapang, tertawa, damai, dan gembira. Semua yang dilaluinya merupakan sebuah “harta”.
Sebagian kecil orang menggunakan hartanya hanya untuk kesenangan sesaat. Dia tidak sadar betapa berharga harta yang dimilikinya, sehingga harta itu habis dalam sekejap, tak akan pernah dapat dinikmatinya lagi. Habis ludes hanya untuk memenuhi hasratnya sebagai kepuasan jasmani.

Manusia bijak lahir dari perjalanan hidupnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa harta tersebut merupakan barang berharga, maka ia akan menggunakan hartanya sebaik mungkin. Ia gunakan harta itu untuk membangun rumah bahkan istana, membantu orang dalam kesusahan, membantu saudara, membangun taman indah dengan pohon hijau, rerumputan, bunga-bunga, dan sungai kolam di dalamnya yang akan membuat damai jiwa sepanjang waktu.

Begitulah, orang yang sadar harta –buah dari pengalaman hidup– yang berharga harus dia gunakan untuk kebaikan dan menolong sesama.

Jika hari ini kita lalui jalanan dalam kemacetan, kita menggerutu begitu lama. Lalu kenapa keesokan harinya kita tetap dengan gerutuan yang menumpulkan pikiran ketika macet kembali menghadang? Jika hari ini kita meributkan teman kita yang ingkar membayar hutangnya, lalu kenapa bulan depan kita masih memberikan dia pinjaman dan ribut lagi ketika dibayar tidak tepat waktu?

Kita tetap marah pada anak-anak kita hampir setiap hari karena selalu saja mereka lupa menyiapkan buku dan sepatu di malam harinya, sehingga pagi hari yang seharusnya ceria berubah menjadi omelan yang ditujukan kepada anak-anak kita sebagai sebuah hukuman?

Mari kita pikirkan sekali lagi. Bukankah kita telah mendapatkan bekal berupa pengalaman di masa lalu, di bulan kemarin, di hari sebelumnya? Tidakkah kita mengambil pelajaran (hikmah) dari kejadian sebelumnya?

Perlukah kita menggerutu, padahal gerutuan tidak akan memperlancar jalanan yang sudah macet. Perlukah kita meminjamkan uang jika tabiat orang itu sudah kita ketahui sebelumnya. Patutkah kita menghukum anak-anak kita, padahal dengan nasihat bijak dan senyuman semuanya dapat diatasi. Atau kita tak pernah bercermin, bahwa seharusnya kesalahan ada pada diri kita, tidak pernah mengingatkan anak-anak kita, bahkan mungkin tak pernah menjadi contoh yang baik bagi mereka.

Sebagai akhir tulisan, manusia yang dapat mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya akan menjadi manusia bijak.

Waktu terus berjalan, tak akan pernah menjadi lambat atau menjadi cepat. Hanya pikiran dan perbuatan bahagia yang membuat kita menjadi manusia yang berbahagia, manusia yang utuh.

0 komentar:

Post a Comment