RSS

Asa yang Tersisa di Sukapura i)






TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA PINTU diketuk. Si bungsu membukakan pintu. Tak lama berselang si bungsu datang ke ibunya. "Ma … ada tamu, Nanda enggak kenal, tapi udah tua, nenek-nenek," kata si bungsu dengan lugu. Perempuan itu melangkah ke ruang tamu. Ia melihat seorang nenek. Setelah bertatapan muka satu sama lain, si nenek langsung berlari memeluk perempuan itu, sambil menangis, meraung dengan kerasnya. "Hadiii… d!!! Hadid …!"

Bersamaan dengan si nenek memeluknya, –masih bingung perempuan itu siapa gerangan nenek tua ini– gema takbir terus berkumandang dengan syahdunya di masjid-masjid, semakin keras.

***

Musim hujan mulai mendatangi kota Bandung yang permai. Langit Isola ii) seakan diselimuti oleh bulu biri-biri yang begitu rapat menutupi permadani biru, mengandung butiran-butiran air. Saat itu bulan November, merupakan bulan yang curah hujannya tinggi. Seorang perempuan berkerudung cokelat cerah berdiri di koridor sebuah gedung laboratorium berlantai tiga. Tampaknya sedang menunggu hujan reda. Sebelumnya, ketika teman-temannya sudah pulang, ia masih asyik dengan alat titrasi asam-basa. Sehingga ia pulang terlambat, dan guyuran hujan menghentikan langkahnya untuk langsung pulang. Dari arah dalam gedung, terdengar suara berat langkah sepatu. Terlihat seorang berperawakan tinggi besar dengan langkah cepat dan lebar sedang menuju ke arahnya. Ah, rupanya Salimun, ngapain ia masih di sini sesore ini ya, batin perempuan itu.

"Eeh, Halimah, belum pulang nunggu apa nih?" tanya Salimun.

"Ini, hujan, tadinya sih mau pulang. Tapi sayang kalau baju jadi basah, terus nanti sakit lagi! Kan payah."

"Hhm, begitu ya. Mau saya antar pulang, bareng yuk. Kebetulan saya bawa payung."

"Hah … kamu bawa payung?!"

"Emangnya kenapa?"

"Ah enggak. Boleh aja, lagian saya buru-buru, masih ada pekerjaan di kost. Makasih ya."

Huh, laki-laki bawa payung, badannya aja yang gede, sterk, eeh, payungnya warna kuning lagi, cowok macam apa, batin Halimah –nama perempuan itu. Tapi walau begitu, ia merasa senang karena ia dapat segera pulang tanpa bajunya basah. Halimah adalah seorang gadis cantik, lugu, berperawakan sedang, tidak tinggi tidak pula terlalu pendek, kulitnya cokelat terbakar, matanya bulat manis, hanya saja jika sudah sakit, Halimah terlihat kurus. Sudah hampir setahun ia tinggal di Isola, kawasan di Bandung Utara, berbatasan dengan Cihideung-Lembang, meninggalkan Sukapura–tempat indah di kota udang, Caruban Larang, sekrang dikenal dengan Cirebon. Sukapura , desa tempat kelahiran Halimah, berhawa panas, kering, membawa banyak angin laut. Ia meninggalkan Sukapura untuk belajar, menggapai impian yang ia damba, di kampus abu Bumi Siliwangi.

Hari demi hari berganti, tahun pun berganti, tidak terasa sudah tiga tahun Halimah berada di Isola. Belajar di sebuah universitas ternama di Kota Kembang, membawanya ke sebuah masyarakat baru. Di sini ia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sains, orang eksak. Pengaruh yang diterimanya tentu saja cukup besar. Komunitas masyarakatnya lebih banyak mengajarkan ia kepada ajaran-ajaran agama yang formal, sedikit kaku, cenderung berpikir secara linear-konvergen, tidak seperti masyarakat sosial yang mempunyai alternatif hidup lebih bebas dan banyak. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi sikapnya di dalam keluarga. Hawa yang dingin dan segar, tempat perguruan tinggi itu berada, membuat Halimah kerasan tinggal di Isola dibanding Sukapura, kampung halamannya. Kebanyakan orang lebih mengenal universitas itu dengan kampus Bumi Siliwangi dibanding dengan Universitas Pendidikan.

Dunia begitu indah, sangat indah. Bagi Halimah saat-saat itu, saat-saat bersama dengan Salimun adalah saat yang penuh dengan kebahagiaan. Tak peduli dengan Sukapura yang membuat pikiran batinnya sakit. Kampus abu dengan beratus pohon-pohon besar. Ketika angin bertiup merontokan sebagian dedaunan, dan membuat bunyi gemerisik indah, serasa menyapa dan bernyanyi untuknya. Bagi Halimah, Salimun adalah pria yang diidam-idamkannya selama ini. Awal perjumpaan yang tidak mengesankan dalam dirinya, berakhir manis seiring waktu berjalan. Rasa cinta mulai bertebaran dalam hatinya, rasa kasih dan sayang bersemi pada akhirnya. Keduanya memiliki perasaan itu. Tumbuh, terus tumbuh dalam gemerlapnya kembang api yang bergelantungan pada langit malam yang kelam pada awal tahun itu.

Halimah tahu bahwa orang tuanya yang kolot dan keras. Mereka telah menjodohkan dirinya dengan seorang calon dokter, calon seorang kaya yang kuliah di Universitas Padjadjaran. Walau berstatus sebagai calon dokter, tapi orang tuanya sangat yakin bahwa kelak, si calon dokter itu akan berhasil dan kaya raya. Hadid namanya. Pada masa sekarang ini memang masih ada orang tua yang berpikiran kolot. Mereka memandang bahwa harta adalah segalanya. Mereka menginginkan anak-anaknya berhasil menjadi seorang yang terhormat, yang kaya, dan mempunyai menantu yang kaya raya pula. Padahal, di luar harta masih ada yang lebih berharga, yaitu kekayaan batin dan kebersihan hati, keimanan dan ketakwaan.

Semenjak berkenalan pertama kali di gedung laboratorium itu, ternyata hubungan Halimah dan Salimun semakin akrab. Hampir saban hari Halimah selalu didampingi oleh Salimun, kemana pun. Pernah pula satu kali, Salimun tidak hadir di samping Halimah karena pergi ke Jakarta. Hati Halimah begitu sedih menyepi, seperti tidak ada kawan lain yang mampu menghadirkan suasana cerah di hatinya. Hanya saja di keluarga Halimah terdapat setumpuk permasalahan. Hal itu lah yang membuat Halimah tidak kerasan di Sukapura. Masalah itu lebih banyak berasal dari orang tuanya yang masih berpikiran kolot. Didikan yang diterima anak-anaknya adalah orang tua segalanya. Mereka tidak dibberikan kepercayaan dalam suatu urusan. Segala penyelesaian urusan adalah dari mereka sendiri. Si anak hanya menerima dan melaksanakan apa yang menjadi keinginan mereka. Tidak ada bantahan, tidak ada toleransi. Halimah menerima didikan buruk orang tuanya. Halimah sakit batin. Dimulai dengan kegiatan kesehariannya seperti pergi ke rumah teman, ikut dalam kegiatan karang taruna, sampai kepada jodoh, pendamping ia hidup kelak.

Di suatu pagi Salimun mengantarnya ke kampung halaman. Walau sudah tahu bahwa orang tuanya memiliki sifat keras kepala, dan sudah berencana menjodohkannya dengan seorang pemuda calon dokter, Halimah tetap membawa Salimun untuk mengantarnya pulang. Salimun diperkenalkan kepada orang tuanya, dan mengatakan bahwa laki-laki berbadan tegap itu adalah calon suami yang diidamkannya. Seperti yang sudah dibayangkan. Di sana Salimun mendapat perlakuan yang sangat tidak pantas. Layaknya sebuah penyakit yang harus dijauhi dan dibersihkan, Salimun diperlakukan. Ia langsung ditengarai dengan pertanyaan-pertanyaan dan perkataan yang pedih. Mereka memandang Salimun dengan pandangan yang sinis. Tak berharta lah, wajah yang tidak tampan lah, bahkan lebih keras dengan menghubung-hubungkannya dengan keturunan. Orang tua Halimah, lebih memilih orang-orang yang mempunyai garis keturunan orang hartawan, orang yang menduduki jabatan tinggi. Keduanya lebih senang memuji dan membanggakan Hadid, si calon dokter. Setiap hari adalah Hadid dan Hadid. Ia adalah pemuda yang ideal di mata keduanya, orang kaya, calon dokter, dan tampan. Dalam pandangan keduanya Hadid jauh lebih baik dibanding seorang calon guru. Guru adalah pekerjaan yang tidak dapat menghasilkan harta yang banyak. Umpatan-umpatan keluar begitu saja dari mulut orang tua Halimah, mengalir. Salimun hanya menelannya bulat-bulat, tidak dapat berbuat apa-apa selain mendendam amarah. Serba salah ia diperlakukan seperti itu. Ingin membalasnya. Namun jika saya lakukan itu, berarti saya sama saja saya dengan mereka, tak beradab. Saya lakukan itu, berarti saya kalah. Tidak! Saya harus tetap diam, dan diam bukan berarti kalah, batinnya. Hati Halimah pedih. Sakit. Melihat kekasihnya, diperlakukan hina oleh orang tuanya. Hatinya menjerit keras, sangat keras. Air matanya tidak keluar, walau hatinya pedih.

Seketika itu juga, Salimun pulang dengan wajah lesu. Kecewa. Sakit hati. Tidak, tidak apa-apa, batin Salimun. Ini hanyalah sebuah episode kehidupan sedih yang tidak seberapa. Ya, ia berpikir, ini bukan apa-apa dibanding tantangan yang akan ia hadapi di kelak kemudian hari. Salimun pamit. Ia pulang, tidak didampingi Halimah. Halimah menangis tanpa air mata sejadi-jadinya, di rumah orang tuanya.

Hari-hari dilalui Halimah dalam keadaan batinnya yang tersiksa. Ia hanya melihat kehidupan di tengah gersangnya gurun pasir yang panas, yang dipenuhi oleh merahnya darah, dan baunya yang amis. Di sana ia dibesarkan, di tanah gersang itu. Darah yang tumpah di tanah itu adalah saudara-saudaranya saling bertengkar, soal warisan. Tidak, saya tidak boleh di sini, di tanah yang tidak mengandung kebaikan, di tanah yang dipenuhi hawa jahat dan gelap. Saya harus keluar, teriakan hatinya bicara. Hanya dengan kaka iparnya ia dapat melihat dan merasakan keanehan kehidupan saudara-saudara dan keluarganya yang serakah pada harta benda. Halimah semakin terkekang menjalani kehidupan di desanya.

Pada suatu dhuha yang berawan putih bersih, dibarengi dengan tekad yang kuat, Halimah berniat untuk pergi dari rumah orang tuanya, selamanya. Berat. Sangat berat ia memutuskan hal ini. Adiknya yang sakit adalah orang yang sangat ia sayangi. Ia menjerit pedih. Tidak, saya tidak sanggup melakukan ini, meninggalkan ibu yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Peluhnya tidak dapat dibayar dengan apa pun, dengan gunung emas sekalipun. Meninggalkan adik-adiknya yang lucu dan masih membutuhkan bimbingannya, ia sangat sayang kepada adik-adiknya. Sekarang ia harus meninggalkan mereka, tidak akan bertemu lagi. Tidak, saya tidak sanggup. Halimah mulai diombang ambing keraguan yang hebat. Tapi, saya pun tidak mungkin hidup di tanah ini, di bumi yang telah mengekang segala jiwa raganya, di alam yang \dapat membunuh hati nuraninya. Biarlah, demi ketulusan dan keikhlasan, daripada hidup di tengah kegersangan dan kemunafikan. Akankah saya kuat, Halimah terus bertanya-tanya. Tapi, saya sudah istikharah, memohon jalan yang terbaik, dan ikhtiar yang ia lakukan adalah pilihan untuk meninggalkan Sukapura, tanah tempat ia dibesarkan. Pamitlah Halimah kepada ibu bapaknya. Tanpa diduga, ternyata kedua orang tuanya pun tak ambil pusing. "Sana, biar kamu pergi. Pergi ya pergi, tinggal ya tinggal. Kalau pergi jangan pernah kembali lagi!" bentak bapaknya dengan ketus. Ya, tidak apa, saya sudah siap dengan segala apa yang terjadi, termasuk dengan ucapan bapaknya tadi, batinnya. Ia terusir, dicampakkan. Saudara-saudara lainnya tidak ada yang ambil pusing dengan kepergiannya. Tujuannya tidak lain adalah kota tempat ia pertama kali bertemu dengan pujaan, kota kembang Bandung.

***

Kota Bandung, kota Kembang, dengan segala daya tariknya: alamnya, manusianya, bangunan, dan sejarahnya, kawah candradimuka intelektual, museum, dan tentu saja budaya dan sastra.

Terminal Leuwi Panjang, hari Rabu siang, pertama kali ia menginjakkan kakinya di Bandung. Setelah beristirahat sejenak, ia langsung menuju ke kediaman temannya, Suma’unah, di daerah Cidadap, yang berbatasan dengan Ciumbuleuit, Cidadap masih terletak di Bandung Utara, berdekatan dengan daerah Lembang pula, hanya dipisahkan oleh hamparan lembah besar. Halimah adalah seorang perempuan. Tapi bukan berarti keteguhan hati dan keberaniannya lemah. Tidak. Ia adalah seorang perempuan yang tegar dan perkasa. Hari-hari kembali dilaluinya, tanpa sadar sudah lebih dari delapan ribu empat ratus hari. Merdeka. hatinya terasa berada di hamparan rerumputan maha luas. Menghirup udara segar dalam-dalam dibiarkan mengalir apa adanya, menahannya dalam dada, dan menghembuskannya kembali, mengalir. Hal ini tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Tapi hari ini ia begitu bebas ….
Hubungan Halimah dengan Salimun semakin akrab. Hal yang ia yakini saat itu hanyalah Salimun akan menjadi pendamping hidup selamanya. Ia sangat yakin. Suma’unah, teman sekampusnya adalah teman yang sangat mengerti akan kehidupan pribadinya. Bersama Suma’unah, sering ia menjalani bersama kesedihan dan kesenangan. Sering Halimah merenung, cemburu terhadap kehidupan Suma’unah. Ia berada di dalam keluarga yang harmonis, penuh kehangatan, keluarga Sarinah adalah keluarga yang direstui dan diridhoi kedua orang tuanya, dan kehangatan orang tuanya. Kembali Halimah menangis membayangkan hal itu. Pedih. Tidak, maaf saya sudah memutuskan untuk hal ini, tidak akan ada yang merubahnya. Air mata ini hanya akan menambah berat beban hati. Biarlah saya simpan air mata ini untuk di kemudian hari. Air mata ini hanya untuk kebahagiaan dan keterharuan. Ya, air mata ini hanya untuk air mata kebahagiaan.

Singkat cerita, Halimah dan Salimun menikah. Ia kembali menetes air mata, bahagia. Ia diterima di keluarga Salimun dengan baik. Ia pikir, ia harus lebih bersyukur akan ke-Maha Pemurah-an dari Sang Khâliq. Hakikatnya adalah saya harus tetap bersyukur apa pun cobaan berat yang akan dihadapi.

***

Rumah yang terletak di daerah Baru Ajak, Lembang itu tampak asri. Dari depan tampak dengan gaya desa, tembok-temboknya hanya terdiri atas batu-bata merah tanpa disemen dan dicat. Dinding luar diatur sedemikian rupa sehingga tampak sangat anggun dipadukan dengan berbagai pohon –cemara, mahoni, cemara, bunga kertas–yang ditanam di halaman depan, sebelum teras rumah. Gayanya sendiri mengambil gaya Sunda berupa rumah badak heuayiii), dimana atap bagian depan lebih tinggi dibanding atap bagian belakang, dan memanjang ke samping. Simba yang bekerja di bagian keamanan jaringan perusahaan telepon seluler di Bandung, tampak duduk-duduk di halaman belakang, ,bersama istrinya Halimah. Kehidupan mapan yang dialami mereka berdua saat ini jauh dari masa silam yang gelap. Halimah tampak berseri-sehat menyandarkan kepalanya ke badan Simba. Mereka berdua teringat masa lalu, dimana kota Serang adalah tanah gersangnya.

“A … saya teringat sama ibu. Biasanya malam takbiran seperti ini ibu selalu membuat ketupat dan bolu ketan hitam kesukaran adik-adik saya.”

“Yah … Aa mengerti, neng. Ibumu adalah tetap ibumu. Saya juga tidak akan pernah melupakan kedua orang tuamu, walau kamu tahu sendiri bagaimana perlakuan mereka pada Aa.”

“Dimana ya sekarang ibu? Apa masih tinggal di Sukapura?”

“Entahlah, kebingunganmu adalah kebingunganku pula. Kita hanya dapat berdo'a kepada Yang Maha Kuasa, apapun yang terjadi mudah-mudahan orang tuamu diberikan keselamatan yang tak terhingga. Kamu tahu, ini adalah rahasia Tuhan. Seandainya ibumu tidak bersikap seperti itu pada kita, mungkin kita tidak akan hidup semakmur ini, diberikan ketenangan, harta yang cukup.”

“Ya, saya tahu itu. Aa sudah sering menceritakannya padaku. Tapi sekarang ini Halimah rindu ibu.”
Senyap. Mereka berdua terdiam. Masing-masing dengan pikirannya menerawang ke angkasa luas tak terbatas. Air mata hangat mengalir di pipi Halimah. Entah sedih atau bahagia. Ia tidak tahu. Ia sekarang merasakan kenikmatan dan ketenangan hidup di sisi Simba, suaminya. Di lain pihak ia, sudah hampir sepuluh tahun lebaran terlewati tidak bersama ibunya, tidak tahu sama sekali dimana sebenarnya ibunya sekarang. Pernah ia mencoba untuk menghubungi keluarganya. Tapi yang menerima adalah orang lain. Rumah itu sudah dijual. Si pemilik baru pun tidak tahu kemana mereka pindah. Tetangga dekat dan saudara-saudaranya dihubungi. Hasilnya, nihil. Tidak ada yang tahu sama sekali. Watak mereka tidak berubah. Tetap seperti yang dulu, tidak peduli terhadap kerabat saudara sendiri. Senyap kembali. Hanya terdengar suara anak-anak yang tampaknya sedang bersenda gurau. Gaduh di ruangan depan sana.

Dua anak kecil berlari-lari berkejaran di ruang tengah. Sudah tiga puluh hari, bulan Ramadan terlewati. Sebentar lagi memasuki bulan Syawal, dan seluruh umat Islam di dunia, akan menyambut hari Raya Idul Fitri, hari agung yang sangat diagungkan seluruh penghuni alam raya, jagad yang tidak terbatas ini.

Dua orang anak itu adalah putranya yang sangat dicintai. mereka tampak sehat. Anak-anak yang tidak mengenal kakek nenek mereka dari pihak dirinya. Mereka belum menyadari. Mungkin jika sudah dewasa, mereka akan mempertanyakannya. Buana dan Bayu ia namakan kedua putranya. Halimah mengharapkan agar putranya diberikan kasih sayang dari Tuhan tidak terbatas.

Gema takbir berjatuhan. Malam tanggal 1 Syawal tiba. Seluruh alam raya menggemakan keagungan Allâh Yang Maha Pencipta. Air mata kepasrahan terhadap keagungan Tuhannya mengalir deras di pipinya. Ia merasa kecil, tidak memiliki kekuatan sekecil zarrah pun.

ketika angin dihentikan
ketika itu pula awan disibakkan
aku melihat langit, di malam yang agung itu
ketika bintang diterangbenderangkan
tatkala rahmat-nya dicurahkan
selebat-lebatnya
di malam yang agung itu
aku melihat langit
gema suara manusia mengagungkan-Mu
bintang kemintang dan candra-Mu
matahari dan langit-Mu
malaikat, tumbuhan, hewan
semua makhluk-Mu di jagad raya ini
mengagungkan-Mu dengan seagung -agungnya
mensyukuri dengan puji-pujian
menyembah dengan tauhidnya
tatkala itu aku bersujud
bersujud di malam yang agung
bersimpuh mengharap ridho-Mu
memohon kepada yang maha memberi
agarku dapat berjumpa lagi
tak kuasa aku melewatkan
hari yang agung itu
di malam yang agung itu
malam kemenangan itu
aku berdo'a ...
semoga yang Maha Meridhoi
meridhaiku selamanya
Allâh Maha Agung
tiada Tuhan, selain Yang Maha Agung
hanya Allâh, Yang Maha Agung
segala puja-puji hanya bagi-Nya.

Di tengah sambungannya yang mengekang tinggi, kembali ke masa silam penuh deretan. Teringat pada adiknya, ibunya, ayahnya, dan sungainya di Cikandé. Ya, kenangan itu terasa indah, walau saat ia dewasa, kenangan itu berubah menjadi pahit dan getir. Terasa sesuatu yang hangat membasuh kedua pipi. Air matanya mengalir deras membasahi mukena yang masih dikenakan selepas sembahyang Maghrib.

Terdengar pintu depan diketuk. "Bayu, coba tolong bukakan pintunya, sayang!"

"Iya, Ma!"

Selang beberapa waktu, Bayu, anak bungsunya kembali, "Ma, ada tamu, nenek-nenek, tapi Bayu enggak tahu siapa." Katanya polos.

Dengan langkah setengah malas Halimah pergi menuju ruang tamu. Di sana ia melihat seorang nenek dengan surat kabar lusuh di tangan kanannya. "Halimah ...!" si nenek bicara setengah bertanya dan berteriak.

Degup jantungnya bertambah keras. Halimah tersentak melihat apa yang dihadapannya. Benarkah ia, ia Ibunya, batinnya ragu-ragu.

"Halimah ...!!!"

Si nenek setengah berlari menubruk Halimah, dan memeluknya erat. Halimah tidak berbuat apa-apa saking kagetnya. Ia menangis di tengah kebingungannya –apakah si nenek ibunya atau bukan– dan tangisan deras si nenek. Si nenek terus menangis, menyerahkan surat kabar kepada Halimah. Terlihat di sampul depan Radar Cirebon: Dokter Hadid, Menjadi Terdakwa Dalam Proyek Renovasi Rumah Sakit Pertamina.

Ya., Allâh, ya Rabbi, apakah artinya ini? cobaan apalagi yang akan saya hadapi? Ataukah ini rahmat, jalan yang Engkau berikan kepada kami menuju jalan yang lurus? Ampuni ya Allâh segala dosa saya, apa pun yang telah ibu lakukan terhadap saya!

"Ibu ...!!! Maafkan Halimah ibu ...!" Halimah bersimpuh di kaki perempuan tua itu. Air mata kembali membasahi kedua pipinya. Air mata keharuan. Pikirannya tidak karuan, kembali ke masa lalu. Terasa beban berat yang menghinggapinya, serasa gunung-gunung dosa menghimpit dirinya sampai tidak berdaya. Ia pusing, pandangan matanya kabur, abu-abu, semakin gelap, gelap , hitam. Halimah tak sadarkan diri. ***

Bumi Siliwangi, 5 Rajab 142

i) Sukapura : salah satu nama desa di Cirebon
ii) Isola : tempat di daerah Bandung Utara, terkenal dengan kampusnya Bumi Siliwangi, IKIP Bandung, sekarang Universitas Pendidikan Indonesia
iii) Badak Heuay : rumah adat suku Sunda"


0 komentar:

Post a Comment