RSS

Andai Saja Kau Rinjani




Gumpalan awan berduyun-duyun melaju lambat. Saling menindih, saling menyusul menuju langit barat tempat peraduan sang mentari. Angin kering tak membawa setetes air pun dari dataran Australia, bertiup kencang. Bulu-buluku terjurai terhempas angin. Angin kering, angin kemarau. Tampaknya aku perlu lebih waspada, penyakit akan datang dari segala penjuru. Terbang bebas seperti ini, bebas merdeka, tak ada yang menghalangi kemana pun arah dituju. Lama aku berada di langit cerah ini, akhirnya aku putuskan untuk turun ke bumi, menukik tajam ke tempat alam fana yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan (juga penuh dengan keindahan dan keramahtamahan).

Hujan rintik. Senja mulai menyapa orang-orang berduyun pulang dari tempat kerjanya. Ah, kenapa juga kemarau ini begitu sulit untuk ditebak. Mudah saja menebaknya: musim kemarau akan kering dan banyak debu dan sinar matari yang menyengat di siang. Kenyataannya hujan turun tak pernah dapat dikirakan. Bukan hujan buatan, ini hujan asli (lho!). Lihat jalanan Kawan, hendak kemana mereka, tampaknya sedang dikejar anjing liar yang lapar. Sepeda motor saling raung, beradu cepat, selap-selip diantara berjibun mobil yang tak mau kalah beradu cepat, khayalnya sedang berada di sirkuit balap. Gelisah. Dan mereka bergegas. Syukurlah kalau memang ternyata kinerja mereka sepadan dengan kecekatan mereka jalan itu. Aku sengaja berada di jalanan, merasakan bagaimana semuanya tunduk padaku. Ya, semua! Memangnya mereka bosan hidup tidak patuh padaku. Aku tinggal ganti saja warna tubuhku dan mereka akan mematuhi aturan. Enak juga. Ketika semua orang patuh pada apa yang kita perintahkan.

Huh, bosan. Sifatku yang satu ini tak pernah lepas, tak pernah bosan menggelayut di jiwa kerontang ini. Kemana lagi aku melangkah. Tak ada tujuan. Bosan. Semuanya terasa membosankan bagiku. Jika aku bisa memilih aku ingin menjadi anak kecil lagi. Dulu sekali aku tak pernah bosan menatap langit cerah di rerumputan lapangan. Berjam-jam hanya berbaring, memandang jauh. Lepas. Setiap hari. Kala itu, pikiran hanya diisi oleh keriangan bermain. Apa pun. Walau hanya rerumputan yang dijalin seakan menjadi ayam jago. Lalu rerumputan itu disimpulkan dengan lainnya, sehingga jika ditarik salah satu rerumputan akan putus. Siapa yang bertahan tidak putus maka ’ayam jago’ nya lah yang menang. Permainan itu juga bisa bertahan berjam-jam tanpa pernah merasa bosan. Hidup memang aneh, dan hidup begitu rumit. Setelah usia terus bertambah, keceriaan dan kegembiraan bermain semakin berkurang. Semuanya harus diraih dengan mengeluarkan isi dompet cukup tebal.

Ya sudah, aku putuskan untuk melihat kekasihku saja. Mungkin saja dia masih berdiam di tempatnya, yang berkerangkeng besi, pengap, mirip kandang gajah hanya saja ... berpendingin ruangan. Aku menyelinap, tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Mencari ruangan mana yang bisa dia masuki dan ruangan tempatnya berdiam diri. Akhirnya aku temukan juga. Lihat kawan, dia masih terpekur di depan komputernya, memandang dengan tatap kosong monitor yang terus menyembulkan angka-angka dan deretan rumus. Aku coba merayap lebih ke atas agar bisa melihat lebih jelas dirinya. Lewat dua lebaran aku tak berjumpa dengannya. Sekarang wajahnya makin tirus, selubung sendu makin menggelayutinya. Masa-masa lampau senasib sepenanggungan dengannya di tempat kerja ini. ”Hei, ayo kita selesaikan tugas ini! Sudahlah batalkan saja kencanmu malam ini” terngiang kata-katanya ketika si bos menyuruh mengerjakan tugas di sore itu, dan itu adalah hari libur, dan itu adalah kesempatan terakhirku untuk meminta maaf kepada kekasihku karena berpuluh janjiku bertemu tak kesampaian, dan itu bukanlah kerja yang membuatku bahagia karena melulu urusan dunia tak ada sangkut pautnya untuk hari akhir.

Kelihatannya sekarang masih tetap. Kekasihku kawan, masih terpekur di sana bekerja keras menyelesaikan kerjaannya. Kadang telepon berdering, diangkatnya, mencak-mencak, mencarikan penyelesaian. Telepon berdering kembali, ditulisnya di kertas pesan yang disampaikan. Mengangkat telepon kembali. Kali ini dia langsung setengah berlari keluar ruangan. Selang beberapa menit, kembali lagi, dengan wajah semakin kusut. Ah, kekasihku kawan, malang benar. Aku hanya ingin menyapanya kali ini. Hanya ingin menyapa. Kami tak terpisahkan dulu kala. Dua tubuh yang menjadi satu jiwa. Tapi kali ini aku tak bisa. Aku hanya bisa terus merayap-rayap di dinding lembab berharap dia melihatku dan mengetahui bahwa diriku ada di sana.

Kenapa dia sendiri di sini, kenapa tak ada orang lain yang menemaninya.

Sesaat aku dikagetkan oleh suara keras. Peganganku di dinding hampir lepas. Ternyata suara dari speaker yang dinyalakan olehnya. Lagu cadas memenuhi ruangan. Ah. Lagu kegemarannya. ”... i always here forever, if you need me my love is never die” Manis. Alunan lagu yang menyatukan aku dengannya. Selalu kami bernyanyi bersama ketika keriangan menghampiri, atau keganasan penderitaan mendera tak kenal ampun. Kami tetap bernyanyi riang, dan memang itulah yang seharusnya kami lakukan, tidak lebih, tidak terus terjerumus dalam lingkaran masalah. Ah, manisnya, kenangan masa lalu yang sering meracuni sebagian manusia di dunia ini.

Kawan, jika kau lihat sekarang ini kau akan menangis tersedan. Melihat kekasihku yang tak dapat melepaskan kungkungan pekerjaan yang menumpuk setiap harinya. Berkeluh kesah, dan meratapi nasib buruknya ditinggalkan mati olehku. Kebahagiaan adalah pilihan. Kita dapat memilih kita bahagia atau tidak. Sayangnya, kekasihku larut dalam duka yang dalam, seakan hanya matari pagi yang dapat membahagiakannya, padahal dalam malam pun bulan dan kemintang selalu menghibur diri kita yang sangat kecil di hadapan kekuasaan-Nya. Seakan hanya aku yang layak mendampingi di pelaminannya, padahal Tuhan tidak akan menelantarkan semua makhluk-Nya, walau hanya ulat di kedalaman samudera. Dan manusia pasti memiliki takdirnya masing-masing.

Senja mulai merayap. Semakin remang tampak di jendela. Kekasihku masih terpekur, mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan, perintah dari bos-nya. Mendongak, menempelkan tangan ke dagu. Dia menoleh ke arahku. “hm, cicak di dinding kau pasti bahagia, tak ada beban dalam pikiranmu. Andai saja kau Rinjani aku akan senang, walau hanya dapat menatapmu”, keluhnya.

Babakan Sari, Rajab 1429

0 komentar:

Post a Comment