RSS

Sajak-sajak Indah


Sajak-Sajak Indah

CaCO3

The Taj Mahal in its solemn majesty
Gibraltar’s famous rock with stability
Australia’s Barrier Reef that spans the Coral sea
The Roman Colosseum with its savage history
The enigmatic Pyramids enduring silently
The formula, in every case, is CaCO3



I’m Electron


I’m a jolly electron, alternately bound and free
Spin from morning to night although you can’t see
And this the burden song forever used to be
I care for nobody since nobody cares for me

Though William Crookes suspected my presence on this earth
It was J.J.Thomson that found me in spite of my tiny girth
He measured the ‘e by m’ of my electric worth
I love J. J. in a filial way for he’d given me birth

Johnstone Stoney invented my new electric name
Ernest Rutherford and Niels Bohr then brought me fame
They guessed within the atom my inner and outer game
You’ll agree what they did for me, I’ll do it for them the same

Maret

Matahari membara di atas bumi yang berkeringat
Lembah-lembah begitu hidup dan menghembuskan angin menderu
Dan gerak mendidihkan musim semi dalam tangan-tangan
Nona gemuk pemerah susu.
Kekurangan darah, kesia-siaan cepat jadi silam
Salju berguguran dalam nadi langit biru
Namun kadang-kadang sapi masih mengeluarkan asap kehidupan
Gigi-gigi garu bijak menghela nafas kesehatan baru

O, hari-hari dan malam-malam yang bergulir!
Irama yang meleleh pada taplak di siang hari
Ketukan hujan es menderap di atas atap
Adalah alunan lagu yang konstan dan tak kenal lelah

Kandang kuda, kandang sapi, segalanya
Lebar terbentang! Burung-burung mematuki salju
Dan kesegaran meneduhi segalanya dari bau kotoran
Dari tempat semua kehidupan dan sebab mengalir

Boris Pasternak, 1957


Penguburan Stalin

Pada hari itu,
hari yang sulit, lambat, mengerikan,
ketika truk menggencet rakyat
yang berjuang menyelamatkan nyawa
mereka saling berhimpitan,
maka seorang lelaki tua pun mati terinjak-injak.

Tulang punggungnya lumat karena tumit-tumit sepatu.
Lapangan yang terang benderang terletak di sebelah kanan,
dan pada kepulan kabut terbentuk dari nafas-nafas kami
bermain bayang-bayang ranting pepohonan bulan Maret.

Kami tidak perlu membuat tuduhan palsu untuk mengutuk Stalin.
Sebab penilaian terhadapnya nyata bisa ditemukan saat hari penguburannya,
rakyat yang datang untuk Stalin adalah kerumunan yang saling injak,
dan injak menginjak antar sesama itulah yang diajarkan Stalin kepada rakyatnya.

Yevgeny Yevtushenko, 5 Maret 1953-1987


Pohon Yang Tersenyum

Pohon yang tersenyum itu tiba-tiba merapuh
gugur daunnya membentuk sketsa
engkau melacaknya bersama bulir-bulir keringat
melelehi wajah pasir selapis-lapis

Demikianlah ketika ada yang merenggutnya
ia akan meninggalkan masa lalunya
serupa dara meninggalkan baju kebaya
pada hari yang telah dijanjikan
lalu pada rahimnya bocah-bocah
mulai belajar mengayuh perahu
sembari bernyanyi
“pada hari minggu kuturut ayah ke kota …”

Ah, pembaptisan ini rasanya begitu tiba-tiba
sementara belum sempat dipikirkan
bagaimana menulis epitaph pada tanah yang tersisa
sementara dapat engkau lihat
bagaimana bocah-bocah itu telah diwajibkan menakhodai perahu
menambatkannya pada bulan yang mendadak membuat
memecah-mecahnya hingga puing-puing
untuk saling berebut mencakar sendiri

Pohon yang tersenyum itu tiba-tiba merapuh
batangnya berjingkat-jingkat terkantuk kerikil yang tiba-tiba terbakar
akar-akarnya mencoba melacak kembali
sungai yang dulu pernah dijumpai dalam mimpinya
dimana harapan terakhir dititipkan
untuk dapat turut menumpang alirnya
setelah sejenak melepas tabik terakhir
pada cacing dan gembur tanah menuju Muara

Tjahyono Widijanto, Ngawi-malang 1996


Catatan Akhir Tahun

inilah saatnya,
kita musti luangkan waktu
sejenak merenung menyimak mengakrabi tanda-tanda
rumput, bunga, musim, dan manusia
mengenang dalam-dalam
wajah bulan yang nyaris terlupa.

inilah saatnya
kita musti luangkan waktu
sejenak berjalan keliling kebun binatang
kita pandangi kembali
berbagai rupa: macan, ular dan babi
juga rupa wajah sendiri!

sudahkah kita berbeda?

inilah saatnya
kita menatap kembali matahari
yang sudah terlanjur hampir ke puncak
sambil merabai guratan tangan sendiri
menghikmati kembali jejak kaki

inilah saatnya kita sejenak sisihkan waktu
duduk sendiri di pinggir telaga
menatapi mesranya titik embun pada daun
menyimak malam dan kuburan yang mandi rembulan

bukankah ada yang tinggal?

Tjahjono Widarmanto, Ngawi, 1996


Bulan Tertusuk Lalang

bulan rebah
angin lelah di atas kandang

cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasangan

angin termangu di pohon asam
bulan tertusuk lalang

tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian

D. Zawawi Imron, 1978


Lagu Tropika

hawa tropika adalah cintaku
adikku, tapi yang kau rindui ialah salju
kita tidak lagi pernah bertemu
berbisik dalam bisu.

hawa tropika ialah darahku
adikku, tapi yang kucari ialah nafsu
kita berbagi dengan sendu
bertentang dalam pilu.

hawa tropika adalah untukku
untuk diburu
untuk cemburu
berdendam restu.

hawa muak di kamar ini musuhku
di tangga kau membuka pintu
tapi aku lahir di sini mati di sini, aku
dengan segenap cinta dan sayu.

lagu nyiur ialah laguku
hawa tropika ialah cintaku.

Yahya M.S.


Lebaran Di Tengah Gelandangan

Di pinggir empang Pondok Cabe antara
bukit-bukit bambu dan pohon cemara
mulai menguntum apa yang bertahun-tahun
kita impian. Di kakinya mata air tertegun

Jauh di kota gelandangan mengais sisa makanan
dalam tong-tong sampah kaki lima. Orok lahir di pinggir kali

Kulihat tanganmu memberi apa yang mereka harapkan
kain sembahyang, sekeping kehidupan berarti

Kau bertanya: — ‘Kan tercapaikah nazar kita
ini, membina cita-cita Adam; pangan, tauhid dan iman?
Pandangan sekitar. Pisang, papaya dan ketela

Aku mendoa: —Tuhan inilah persembahkan kami
Tanah, empang, kebun, dan bukit-bukit ini
bagi mereka yang kehilangan jalan.

Bahrum Rangkuti


Mercon Malam Lebaran

Akhir Ramadhan membakar sepanjang
Thamrin. Paras tak tertahan sejak siang
Mercon, meriam bambu dan bunga api
menggelegar dari gedung dan jembatan tinggi

mengguling menakutkan jatuh ke bawah sedan
dan becak. Polisi bagaikan tonggak menunggu-nunggu
siapa yang luka, melontar dan putus tangan
dalam air oto, sepeda dan scooter, Setan memburu

Inilah agaknya kejang penghabisan jalan rohani
berminggu-minggu di taman Illahi, nafsu dikekang
rajin mengaji, doa dan sembahyang malam hari

Apakah semua ini bukan pelambang?

Bertahun-tahun berjuang menumbuh cita sejauh bintang
Lalu timpa menimpa jua. Ledakan di sini!

Bahrum Rangkuti


Tuhan Di Tengah-Tengah Insan

Mahmudah membaca Qur’an
Di bawah kudungnya sutera hijau
membayang kehidupan remaja. Mengumandang Al Imran
cahaya atas cahaya dengan suara menghimbau

turun dan naik atas irama pendek dan panjang
kadang berhenti pada tanda waqaf sejenak
lalu mendengung sangsai pada Illahi maha Penyayang

Aku diam hening tak mampu bergerak

Tahukah engkau, anakku
Alun suara ini kata Tuhan terakhir
pada insan seluruh dunia. Turun berabad-abad lalu

Bahrum Rangkuti


Anak-Anakku

Hari menanjak siang. Malam
berangsur hilang dari permukaan bumi
Kalian tumbuh dan besar dalam
sentuhan suci dan cinta. Mawar membelai pipi

di Ciputat, Pondok Cabe dan Kebon Kacang
hingga menjadi saksi hidup cita-cita ibumu
siang malam memeras tulang

Tuhan membina kalian jadi tiang-tiang padu
rumah kita dirikan
bersama Khatulistiwa
wilayah panti, pulau dan lautan

Resapilah ayat-ayat Qur’an
dalam cita-cita dan amal berilmu
agar Jibril datang membantu

Bahrum Rangkuti

Nyanyian Jiwa

nyanyian jiwa bersayap menembus awan jingga
mega mega terberai diterjang halilintar
mata hati bagai pisau merobek sang bumi
hari ini kutelan semua masa lalu

biru biru biru biruku
hitam hitam hitam hitamku

aku sering ditikam cinta pernah dilemparkan badai
tapi aku tetap berdiri

nyanyian jiwa harus dijaga
mata hatri haruslah dirasa
nyanyian jiwa harus dijaga
mata hatri haruslah dirasa

menjeritlah menjeritlah selagi bisa
menangislah jika itu dianggap penyelesaian

biru biru biru biruku
hitam hitam hitam hitamku

aku sering ditikam cinta pernah dilemparkan badai
tapi aku tetap berdiri




0 komentar:

Post a Comment